KISAH GAJAH MADA
Menurut tradisi lisan suku Dayak Desa di Kalimantan Barat, Gajah Mada adalah orang Dayak yang mengayau ke Tanah Jawa.
Di Jalan Trans Kalimantan, persisnya di Dusun Modang, Desa Bagan Asam, sekitar 6 kilo meter dari Teraju, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Desa Bagan Asam terdapat keramat berupa batu dan tiang bendera. Batu dan tiang bendera itu adalah Keramat Desa Sembilan Domong Sepuluh.
Menurut masyarakat masyarakat adat Dayak Desa, kisah tentang Keramat Desa Sembilan Domong Sepuluh tersebut muncul dari kisah Mada. yang disebut juga Gajah Mada. Mada ini adalah anak Babai Apo dengan Dara Jampe. Mada juga adalah adik kandung Cinga, yang menikah dengan Dara Nante. Cinga dan Dara Nante inilah yang mendirikan Kerajaan Sanggau.
Babai adalah gelar kepala suku. Babai Apo adalah kepala suku Dayak Desa, yang wilayah kekuasaanya dikenal sebagai Loui (Lawai). Menurut tradisi lisan Dayak Desa, Negeri Loui melingkupi daerah yang begitu luas yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin bergelar Domong. Domong adalah pemimpin yang dikenal arif, bijaksana dan berani. Domong dibantu seorang panglima perang yang bergelar Gajah.
Suatu hari, ada permufakatan 10 Domong dengan raja untuk melakukan tradisi kayau (head hunting) sekaligus mencari Dara Sanjati, gadis dari kampung Mungguk Kalimantan (sekarang Dusun Mungguk Kemantan) yang diculik musuh dari lautan. Dara Sanjati adalah tunangan Mada. Mada belum boleh diberi gelar Gajah, dan belum boleh menikah karena belum pernah mengayau (berburu kepala musuh). Mendapati gadisnya diculik, marahlah Mada. Ia bertekad bila menemukan gadisnya itu, ia akan membalas dendam dengan memperluas wilayah kekuasaan, bukan hanya di Pulau Bakulapura (nama pulau Kalimantan era Imperium Singhasari di Jawa) tetapi juga hingga ke Pulau Hanyut/Pulo Anyut (Tumasik/Singapura sekarang ini).
Di hadapan Babai Apo dan para Domong, Mada kemudian mengusulkan dirinya untuk memimpin pasukannya dari berbagai negeri terdekat untuk mencari Dara Sanjati. Usul ini disetujui Babai dan Domong. Mada pergi ke hulu batangan banyuke (sungai Banyuke) menemui sahabatnya yang bernama Tanding, Nambi dan Nala. Keempatnya kemudian menemui sahabatnya Rumaga di hulu batangan sakayu (Sungai Mempawah). Mada juga menemui sahabatnya Sangen di hulu batangan ambalau (Sungai Ambalau). Setelah dirasa lengkap, Mada dan kawan2nya melakukan ritual "menjah antang", di sebuah batu besar (kini situs Desa Sembilan Domong Sepuluh), Mada dan 40 orang pasukannya berangkat dengan sebuah perahu besar ke laut...pasukannya dikenal dengan Satria Bakulapura. Mada dan pasukannya keluar dari Batangan Kapuhas (Sungai Kapuas) menuju muara laut dan berlayar selama 40 hari 40 malam.
Selama pelayaran di lautan luas itu, banyak pasukan Mada menaklukan musuh di lautan, hingga tiba di daerah pantai yang menjadi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Di pantai yang penuh darah karena pertempuran pasukannya dengan sekelompok prajurit kerajaan itu, oleh Sangen dan kawan-kawannya, sesuai tradisi leluhurnya, Mada diangkat sebagai panglima dengan gelar Gajah.
Di pantai ini pula, Gajah Mada berkenalan dengan seorang pemuda pendiam, bernama Mauli. Gajah Mada pun memperhatikan pertempuran itu, Mauli hanya melihat dari kejauhan. Dalam pertempuran itu, Gajah Mada dan pasukannya berhasil memenggal semua kepala prajurit kerajaan itu. Setelah Gajah Mada dan pasukannya selesai bertempur, Mauli pun membawa Mada ke kapal dan ke rumahnya. Tak dinyana, ternyata Mauli adalah seorang raja, bergelar Srimat Srivhuwanaraja Mauli Warmadewa, raja Sriwijaya. Di istana, Gajah Mada diperkenalkan dengan anak-anaknya., Seorang bernama Dara Petak dan seorang lagi bernama Dara Sanjati (dikenal dengan Dara Jingga). Gajah Mada dan pasukannya diperlakukan dengan sangat baik oleh istana, apalagi ketakutan raja yang mengetahui bahwa seorang anak angkatnya ternyata kekasih Gajah Mada dari negeri Bakulapura.
Suatu hari, kerajaan mendapat serangan dari tanah Jawa. Kerajaan nyaris dihancurkan, Karena itu raja mengirim kedua putrinya untuk dibawa ke tanah jawa sebagai bentuk persahabatan. Raja meminta Gajah Mada dan pasukannya mengawal dua putri raja tersebut bersama dengan rombongan dari tanah jawa.
Setibanya di tanah Jawa, Kerajaaan Singasari sudah runtuh dan raja tewas karena pemberontakan. Namun, telah berdiri kerajaan baru yang bernama Majapahit, yang dipimpin oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian memperistri Dara Petak, yang melahirkan Jayanegara. Sedangkan kekasih Gajah Mada diperistri oleh Mahapatih Dyah Adwajabhram, yang melahirkan Adityawarman, Raja Sriwijaya.
Di istana Majapahit, Gajah Mada tetap diangkat sebagai prajurit pengawal raja dan keluarganya. Karena jiwa kepemimpinan dan keberaniannya, Mada pernah diangkat sebagai Patih di Doha dan Kahuripan. Ketika terjadi pemberontakan Rakuti, Rumaga, yang di Majapahit dikenal sebagai Rasidi pun ikut memberontak. Rumaga ini adalah seorang prajurit Gajah Mada yang dibawanya dari Bakulapura.
Usai pemberontakan Rakuti, Gajah Mada meminta Rasidi supaya kembali ke Bakulapura, yang pada masa itu disebutnya sebagai Tanjungnegara. Radisi pun menurut saja, Setiba di kampong halamannya yang bernama Pakana, Rasidi dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya sebagai raja Kerajaan Bangkule Rajakng dengan gelar Patih. Kerajaan Bangkule Rajakng ini ada di Hulu Batangan Mampawah (Sungai Mempawah).
Di Bangkule Rajakng, Gamantar dikirim ayahnya Patih Ramaga ke Majapahit untuk menemui Gajah Mada. Gamantar terkenal sangat tangkas dan berani. Karena kehebatannya ini, Gamantar kemudian diangkat oleh Gajah Mada sebagai bekel (kepala regu prajurit Bhayangkara, pasukan pengawal raja dan keluarganya).
Pada masa Raja Tribuwana Wijaya Tunggadewi berkuasa, Mada diangkat menjadi Maha Patih Amangkubhumi Majapahit, menggantikan Arya Tadah. Pada pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang dikenal dengan Amukti Palapa atau Sumpah Palapa.
Sejak sumpah itu, berbagai negara di nusantara ditakhlukan oleh Mada dan pasukannya. Gajah Mada bersama Tanding dan Nala (pasukan Mada dari negeri Banyuke), pun berhasil menakhlukan negeri-negeri Siam, Malaya hingga Tumasik. Hanya ada dua negeri yang belum ditakhlukan, yakni Madura dan Sunda. Masalahnya Madura dan Sunda memiliki ikatan khusus dengan Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Karena ambisi politiknya, Gajah Mada pun harus mengingkari janji pendiri negeri dengan membunuh raja dan para prajuritnya pada saat Raja Hayam Wuruk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi, putri sunda, Hal ini Gajah Mada lakukan lantaran ia lebih percaya pada sumpah, Kenyataan ini pulalah yang membuat sang putri, calon mempelai Raja Hayam Wuruk harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tindakan Gajah Mada yang haus darah ini dianggap aib oleh kerajaan sehingga Gajah Mada kemudian dipersalahkan, terutama oleh musuh-musuhnya.
Menurut masyarakat masyarakat adat Dayak Desa, kisah tentang Keramat Desa Sembilan Domong Sepuluh tersebut muncul dari kisah Mada. yang disebut juga Gajah Mada. Mada ini adalah anak Babai Apo dengan Dara Jampe. Mada juga adalah adik kandung Cinga, yang menikah dengan Dara Nante. Cinga dan Dara Nante inilah yang mendirikan Kerajaan Sanggau.
Babai adalah gelar kepala suku. Babai Apo adalah kepala suku Dayak Desa, yang wilayah kekuasaanya dikenal sebagai Loui (Lawai). Menurut tradisi lisan Dayak Desa, Negeri Loui melingkupi daerah yang begitu luas yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin bergelar Domong. Domong adalah pemimpin yang dikenal arif, bijaksana dan berani. Domong dibantu seorang panglima perang yang bergelar Gajah.
Suatu hari, ada permufakatan 10 Domong dengan raja untuk melakukan tradisi kayau (head hunting) sekaligus mencari Dara Sanjati, gadis dari kampung Mungguk Kalimantan (sekarang Dusun Mungguk Kemantan) yang diculik musuh dari lautan. Dara Sanjati adalah tunangan Mada. Mada belum boleh diberi gelar Gajah, dan belum boleh menikah karena belum pernah mengayau (berburu kepala musuh). Mendapati gadisnya diculik, marahlah Mada. Ia bertekad bila menemukan gadisnya itu, ia akan membalas dendam dengan memperluas wilayah kekuasaan, bukan hanya di Pulau Bakulapura (nama pulau Kalimantan era Imperium Singhasari di Jawa) tetapi juga hingga ke Pulau Hanyut/Pulo Anyut (Tumasik/Singapura sekarang ini).
Di hadapan Babai Apo dan para Domong, Mada kemudian mengusulkan dirinya untuk memimpin pasukannya dari berbagai negeri terdekat untuk mencari Dara Sanjati. Usul ini disetujui Babai dan Domong. Mada pergi ke hulu batangan banyuke (sungai Banyuke) menemui sahabatnya yang bernama Tanding, Nambi dan Nala. Keempatnya kemudian menemui sahabatnya Rumaga di hulu batangan sakayu (Sungai Mempawah). Mada juga menemui sahabatnya Sangen di hulu batangan ambalau (Sungai Ambalau). Setelah dirasa lengkap, Mada dan kawan2nya melakukan ritual "menjah antang", di sebuah batu besar (kini situs Desa Sembilan Domong Sepuluh), Mada dan 40 orang pasukannya berangkat dengan sebuah perahu besar ke laut...pasukannya dikenal dengan Satria Bakulapura. Mada dan pasukannya keluar dari Batangan Kapuhas (Sungai Kapuas) menuju muara laut dan berlayar selama 40 hari 40 malam.
Selama pelayaran di lautan luas itu, banyak pasukan Mada menaklukan musuh di lautan, hingga tiba di daerah pantai yang menjadi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Di pantai yang penuh darah karena pertempuran pasukannya dengan sekelompok prajurit kerajaan itu, oleh Sangen dan kawan-kawannya, sesuai tradisi leluhurnya, Mada diangkat sebagai panglima dengan gelar Gajah.
Di pantai ini pula, Gajah Mada berkenalan dengan seorang pemuda pendiam, bernama Mauli. Gajah Mada pun memperhatikan pertempuran itu, Mauli hanya melihat dari kejauhan. Dalam pertempuran itu, Gajah Mada dan pasukannya berhasil memenggal semua kepala prajurit kerajaan itu. Setelah Gajah Mada dan pasukannya selesai bertempur, Mauli pun membawa Mada ke kapal dan ke rumahnya. Tak dinyana, ternyata Mauli adalah seorang raja, bergelar Srimat Srivhuwanaraja Mauli Warmadewa, raja Sriwijaya. Di istana, Gajah Mada diperkenalkan dengan anak-anaknya., Seorang bernama Dara Petak dan seorang lagi bernama Dara Sanjati (dikenal dengan Dara Jingga). Gajah Mada dan pasukannya diperlakukan dengan sangat baik oleh istana, apalagi ketakutan raja yang mengetahui bahwa seorang anak angkatnya ternyata kekasih Gajah Mada dari negeri Bakulapura.
Suatu hari, kerajaan mendapat serangan dari tanah Jawa. Kerajaan nyaris dihancurkan, Karena itu raja mengirim kedua putrinya untuk dibawa ke tanah jawa sebagai bentuk persahabatan. Raja meminta Gajah Mada dan pasukannya mengawal dua putri raja tersebut bersama dengan rombongan dari tanah jawa.
Setibanya di tanah Jawa, Kerajaaan Singasari sudah runtuh dan raja tewas karena pemberontakan. Namun, telah berdiri kerajaan baru yang bernama Majapahit, yang dipimpin oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian memperistri Dara Petak, yang melahirkan Jayanegara. Sedangkan kekasih Gajah Mada diperistri oleh Mahapatih Dyah Adwajabhram, yang melahirkan Adityawarman, Raja Sriwijaya.
Di istana Majapahit, Gajah Mada tetap diangkat sebagai prajurit pengawal raja dan keluarganya. Karena jiwa kepemimpinan dan keberaniannya, Mada pernah diangkat sebagai Patih di Doha dan Kahuripan. Ketika terjadi pemberontakan Rakuti, Rumaga, yang di Majapahit dikenal sebagai Rasidi pun ikut memberontak. Rumaga ini adalah seorang prajurit Gajah Mada yang dibawanya dari Bakulapura.
Usai pemberontakan Rakuti, Gajah Mada meminta Rasidi supaya kembali ke Bakulapura, yang pada masa itu disebutnya sebagai Tanjungnegara. Radisi pun menurut saja, Setiba di kampong halamannya yang bernama Pakana, Rasidi dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya sebagai raja Kerajaan Bangkule Rajakng dengan gelar Patih. Kerajaan Bangkule Rajakng ini ada di Hulu Batangan Mampawah (Sungai Mempawah).
Di Bangkule Rajakng, Gamantar dikirim ayahnya Patih Ramaga ke Majapahit untuk menemui Gajah Mada. Gamantar terkenal sangat tangkas dan berani. Karena kehebatannya ini, Gamantar kemudian diangkat oleh Gajah Mada sebagai bekel (kepala regu prajurit Bhayangkara, pasukan pengawal raja dan keluarganya).
Pada masa Raja Tribuwana Wijaya Tunggadewi berkuasa, Mada diangkat menjadi Maha Patih Amangkubhumi Majapahit, menggantikan Arya Tadah. Pada pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang dikenal dengan Amukti Palapa atau Sumpah Palapa.
Sejak sumpah itu, berbagai negara di nusantara ditakhlukan oleh Mada dan pasukannya. Gajah Mada bersama Tanding dan Nala (pasukan Mada dari negeri Banyuke), pun berhasil menakhlukan negeri-negeri Siam, Malaya hingga Tumasik. Hanya ada dua negeri yang belum ditakhlukan, yakni Madura dan Sunda. Masalahnya Madura dan Sunda memiliki ikatan khusus dengan Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Karena ambisi politiknya, Gajah Mada pun harus mengingkari janji pendiri negeri dengan membunuh raja dan para prajuritnya pada saat Raja Hayam Wuruk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi, putri sunda, Hal ini Gajah Mada lakukan lantaran ia lebih percaya pada sumpah, Kenyataan ini pulalah yang membuat sang putri, calon mempelai Raja Hayam Wuruk harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tindakan Gajah Mada yang haus darah ini dianggap aib oleh kerajaan sehingga Gajah Mada kemudian dipersalahkan, terutama oleh musuh-musuhnya.
GAJAH MADA KEMBALI KE KALIMANTAN
Pasca perang yang dikenal dengan Perang Bubat, Gajah Mada lebih banyak menyendiri di rumahnya di lereng gunung Bromo. Ia merasa bersalah kepada raja. Ia pun memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke negeri asal masing-masing. Gamantar sendiri kembali ke Bangkule Rajakng dan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar Patih Gamantar.Oleh Gajah Mada, Gamantar dibekali sebilah keris bernama Keris Susuhunan.
Demikian pula Tanding, dan Nambi, keduanya kembali ke negeri Banyuke dan mendirikan kerajaan baru bernama Jarikng di hulu Sungai Banyuke. Sepeninggal prajurit utamanya, Gajah Mada kemudian kembali ke berbagai daerah yang pernah ditakhlukannya untuk meminta maaf. Setelah semua pewaris kerajaan dijumpainya, ia kembali ke tanah leluhurnya Bagan Asam. Di tempat inilah Gajah Mada beristirahat.
Setiba di kampung halamannya, Gajah Mada disambut sukacita oleh warga, dan pemimpin rakyat di wilayah Desa Sembilan Domong Sepuluh. Sebagai tanda perjanjiannya bahwa ia telah kembali, Gajah Mada menancapkan sebuah panji majapahit di Modang. Panji yang ditancapkan oleh Gajah Mada itu berbentuk tiang bendera. Kini panji tersebut masih berdiri kokoh di Dusun Modang, Desa Bagan Asam, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak itu, Gajah Mada pun memutuskan untuk bertapa di sebuah bukit batu, yang kini dikenal sebagai Bukit Batu Daya di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang.
Pasca perang yang dikenal dengan Perang Bubat, Gajah Mada lebih banyak menyendiri di rumahnya di lereng gunung Bromo. Ia merasa bersalah kepada raja. Ia pun memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke negeri asal masing-masing. Gamantar sendiri kembali ke Bangkule Rajakng dan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar Patih Gamantar.Oleh Gajah Mada, Gamantar dibekali sebilah keris bernama Keris Susuhunan.
Demikian pula Tanding, dan Nambi, keduanya kembali ke negeri Banyuke dan mendirikan kerajaan baru bernama Jarikng di hulu Sungai Banyuke. Sepeninggal prajurit utamanya, Gajah Mada kemudian kembali ke berbagai daerah yang pernah ditakhlukannya untuk meminta maaf. Setelah semua pewaris kerajaan dijumpainya, ia kembali ke tanah leluhurnya Bagan Asam. Di tempat inilah Gajah Mada beristirahat.
Setiba di kampung halamannya, Gajah Mada disambut sukacita oleh warga, dan pemimpin rakyat di wilayah Desa Sembilan Domong Sepuluh. Sebagai tanda perjanjiannya bahwa ia telah kembali, Gajah Mada menancapkan sebuah panji majapahit di Modang. Panji yang ditancapkan oleh Gajah Mada itu berbentuk tiang bendera. Kini panji tersebut masih berdiri kokoh di Dusun Modang, Desa Bagan Asam, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak itu, Gajah Mada pun memutuskan untuk bertapa di sebuah bukit batu, yang kini dikenal sebagai Bukit Batu Daya di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang.
Diedit dari postingan Arnold Paduni
Komentar
Posting Komentar